translate language

Kamis, 24 September 2009

Bila Istriku sudah memuakkan bagiku

Kebersamaan dgnnya hanya membuahkan kejengkelan, sentuhannya membuatku terusik dan terganggu, tak satupun aku simpati melihat keluarganya, tingkahnya menghasilkan rasa muak buatku, masakannya tidak terasa enak buatku, aku berada dirumah hanya demi sikecil yg msh berumur 6 bulan, sudah tak ada niat menjaga kelangsungan rmh tangga ini, tapi tak kuasa berpisah dengan sikecil, setiap hari dia sakit hati krn tdk kuhiraukan, stp hr kuberdosa krn tak mengacuhkannya, jika bpk adlh saya, apa lngkh yg bpk ambil ?
Jawaban 1:
Seharusnya Anda tahu siapa yang Anda nikahi jadi tidak menyesal dikemudian hari sehingga kesannnya Anda begitu benci dengan istri bahkan seluruh keluarganya.
Jawaban2:
Sebenci itukah kepada istri? Apakah karena istri telah melakukan pelanggaran dan
penghinaan yang begitu berat terhadap syariat?
‘Aisyah Ummul Mu`minin pernah mengatakan :
“Rasulullah tidak pernah marah bila hak-hak dirinya tidak dihargai orang. Namun bila hak-hak islam yang dihinakan, maka tidak terhinggalah marah beliau.”
Jadi, karena apakah sentuhan istri begitu mengganggu? Tidak ada cinta lagi? Kenapa? Cinta itu anugerah ketika kita berusaha mendekat. Abu Hurairah menyampaikan hadits
bahwa Tuhan berfirman :
“HambaKU terus mendekat kepadaKU dengan amal-amal wajib. Dan ia terus mendekat dengan amal-amal tambahan (nawafil). Hingga ia mencintaiKU, dan Aku pun mencintainya.”
Bila cinta Tuhan Yang Maha Kasih diraih dengan pendekatan wajib dan nawafil. Maka cinta istri Yang Tidak Maha Kasih jauh lebih pantas untuk diraih dengan
pendekatan semacam itu. (jangan dekati istri melalui yang wajib-wajib. Coba dengan
meluaskan yang nawafil- nawafilnya!).
Jawaban 3:
Bila aku berada dalam posisimu itu, maka amal utama yang aku lakukan adalah menghitung seberapa banyak nikmat yang Allah karuniakan kepadaku.
Perihal anak itu, misalnya. Alhamdulillah, dia sehat dan berkecukupan. Sementara di
luar sana… ada banyak anak-anak yang kelaparan dan kekurangan gizi, bahkan tak sedikit yang cacat.
Alhamdulillah, anakku kelak bisa mengenyam pendidikan di sekolah yang bermutu, sementara di luar sana… ada banyak anak yang terpaksa drop out dan bekerja supaya bisa hidup. Alhamdulillah, dia dibesarkan di bawah kasih sayang bapak dan ibunya, juga keluarga bapak dan ibunya.
Sementara di luar sana, ada banyak anak tak berbapak dan tak beribu. Ada pula banyak anak yang dibuang di tempat sampah atau pun di jalanan, mereka tumbuh tanpa kasih sayang dari bapak dan ibunya.
Alhamdulillah, anakku menyayangi diriku. Sementara di luar sana, ada banyak anak yang membenci orangtuanya. Alhamdulillaah…. dan masih banyak lagi yang lainnya.
Itu baru dari segi anak. Belum lagi dari segi rumah tempat tinggal kami, lalu karirku, kesehatanku, mataku yang dapat menikmati keindahan pemandangan, telingaku yang dapat menikmati musik merdu, lidahku yang dapat menikmati lezatnya makanan dan
minuman, lalu besarnya peluang mengakses informasi melalui internet, juga bagaimana aku disayang istriku, sahabatku, familiku, … dan masih banyak lagi yang lainnya. Seraya menghitung-hitung kenikmatan itu, aku takkan mengutuk “kegelapan”. Aku
lebih suka menyalakan “sinar”. Aku menyinari dengan “cinta”. Sebab, cinta bukanlah tertusuk panah cupid. Cinta adalah kemauan. Di mana ada
kemauan, di situ ada jalan. Aku mau mencintai, tak peduli apakah orang yang kucintai membalas mencintaiku ataukah tidak. Sebab, dengan mencintai secara tuluslah aku merasa hidup, merasa ada.
Dengan merasa ada, aku pun merasa bahagia. Aku senang mencintainya dengan terarah:
dengan sehembus bayu yang dideburkan Ar-Rahim kepada segumpal darah yang menjadikannya manusia. Aku senang mencintainya dengan tertata: dengan selaksa aroma yang didesirkanlebah pengolah buah di hening sarang yang menjadikannya pencinta.
Aku mau mencintai, karena dengan cintaku inilah aku akan hidup abadi, hidup yang benar-benar hidup, yakni hidup di akhirat kelak. Segala perilaku istriku atau siapapun yang mungkin menjengkelkan diriku itu hanyalah soal kecil. Toh aku mengalaminya selama beberapa dekade saja, takkan sampai ratusan atau ribuan tahun. Itu tak ada artinya bila dibandingkan dengan kebahagiaan surgawi yang Allah janjikan kelak di akhirat selama lebih dari jutaan tahun, lebih dari milyaran tahun, lebih dari angka yang dapat aku bayangkan. Sebab, kita hidup di akhirat selama- lamanya.
Oleh karena itu, aku utamakan orang-orang terdekatku, khususnya anak dan istriku, sebagai ladang amal bagiku.
Mereka tidak pernah menolak amalku yang aku lakukan terhadap mereka. Bahkan, mereka dengan sukacita menerima amalku. Ini membuatku lebih bersemangat untuk beramal dalam rangka menambah bekal kehidupan di akhirat kelak. Siapa tahu, amalku masih teramat kecil/ sedikit untuk mengetuk pintu surga. Belum ada jaminan bahwa aku akan masuk surga kelak. Kalau aku enggan memanfaatkan ladang amal yang terbentang lebar ini, tidak malukah aku berdoa memohon surga kepada Sang Maha Pencinta?
Wahai… Sesungguhnya, kita semua adalah milik Allah, dan kepada-Nya lah kita akan kembali.

Tidak ada komentar: