translate language

Minggu, 20 September 2009

Kepribadian yang Mulia

Inilah seorang laki-laki shalih yang lanjut usia, dan telah memulai hubungannya dengan Rasulullah semenjak usia 13 tahun. Yaitu ketika ia ingin menyertai ayahnya dalam perang Badar, dengan harapan akan memperoleh tempat dalam deretan para pejuang, kalau tidak ditolak oleh Rasulullah disebabkan usianya yang masih terlalu muda.

Semenjak saat itu bahkan sebelumnya, yakni ketika ia menyertai ayahnya dalam hijrahnya ke Madinah, hubungan anak yang cepat matang kepribadiannya itu dengan Rasulullah dan Agama Islam, telah mulai terjalin. Semenjak itu, sampai saat ia menemui Allah di usianya 85 tahun lebih, beliau tidak berubah atau bergeser sedikitpun dari pendiriannya, serta tak akan menyimpang dari bai`at yang telah diikrarkannya atau melanggar janji yang telah diperbuatnya sebagai seorang yang tekun beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah.

Keistimewaan-keistimewaan yang memikat perhatian kita terhadap Sayidina Abdullah bin Umar ini tidak sedikit. Ilmunya, kerendahan hati, kebulatan tekad dan keteguhan pendirian, kedermawanan, keshalihan dan ketekunannya dalam beribadah serta berpegang teguhnya kepada contoh yang diberikan oleh Rasulullah. Semua sifat dan keutamaan itu telah berjasa dalam menempa kepribadiannya yang luar biasa dan kehidupannya yang suci lagi benar. Dari Ayahnya Sayidina Umar bin Khattab dan Rasulullah SAW berbagai macam kebaikan dan kebesaran telah dipelajarinya.

Sebagaimana Ayahnya, beliau pun telah berhasil mencapai keimanan yang baik terhadap Allah dan Rasul-Nya. Dan oleh karena itu, kesetiaannya mengikuti jejak langkah Rasulullah, merupakan suatu hal yang amat menakjubkan. Setiap sesuatu yang dilakukan Rasulullah selalu ditirunya secara cermat dan teliti. Seperti misalnya Rasulullah SAW pernah melakukan shalat di suatu tempat, maka Ibnu Umar melakukannya pula di tempat itu. Pernah juga Rasulullah berdo`a sambil berdiri atau duduk, maka Ibnu Umar berdo`a di tempat itu sambil berdiri atau duduk pula. Rasulullah pernah turun dari punggung untanya pada suatu hari dan melakukan shalat dua raka`at di suatu daerah, maka Ibnu Umar tak pernah ketinggalan melakukannya, jika dalam perjalanannya kebetulan lewat di daerah tersebut.

Bahkan ia takkan lupa bahwa unta tunggangan Rasulullah berputar dua kali di suatu tempat di kota Mekkah sebelum Rasulullah turun untuk melakukan shalat dua raka`at, walaupun barangkali unta itu berkeliling untuk mencari tempat yang cocok untuk bersimpuh. Tapi Abdullah ibnu Umar baru saja sampai di tempat itu, ia segera membawa untanya berputar dua kali kemudian baru bersimpuh, dan setelah itu ia shalat dua raka`at, sehingga persis sesuai dengan perbuatan Rasulullah yang telah disaksikannya.

Kesetiannya yang amat sangat dalam mengikuti jejak langkah Rasulullah ini, telah mengundang pujian dari Ummul Mu`minin Aisyah r.a. sampai ia mengatakan : “Tak seorang pun mengikuti jejak langkah Rasulullah SAW. Di tempat-tempat pemberhentiannya, sebagaimana dilakukan oleh Ibnu Umar”.

Sungguh, usia lanjutnya yang dipenuhi berkah itu telah dijalaninya untuk membuktikan kecintaannya yang mendalam terhadap Rasulullah, hingga kaum Muslimin yang shalih pernah berdo`a : “Ya Allah, lanjutkanlah kiranya usia Ibnu Umar sebagaimana Allah telah melanjutkan usiaku, agar aku dapat mengikuti jejak langkahnya, karena aku tidak mengetahui seorangpun yang menghirup dari sumber pertama selain Abdullah bin Umar”
Karena kegemarannya yang kuat tak pernah luntur dalam mengikuti sunnah dan jejak langkah Rasulullah, maka Ibnu Umar bersikap amat hati-hati dalam penyampaian hadits Nabi SAW. Ia tidak akan menyampaikan suatu hadits, kecuali jika ia ingat seluruh kata-kata Rasulullah.

Begitu juga ia menghindar dari jabatan yang tertinggi di antara jabatan kenegaraan dan kemasyarakatan, walupun jabatan itu menjamin kekayaan, pengaruh dan kemuliaan. Apa perlunya kekayaan, pengaruh dan kemuliaan bagi Ibnu Umar?. Hingga suatu hari beliau pernah menolak jabatan yang ditawarkan oleh Khalifah Utsman ra., walaupun Sayidina Utsman mendesaknya, Ibnu Umar bersikeras menolaknya. “Apakah anda tak mau mentaati perintahku?” tanya Sayidina Utsman. Jawab Ibnu Umar: “Sama sekali tidak, hanya saya dengar para hakim itu ada tiga macam : pertama hakim yang mengadili tanpa ilmu, maka ia dalam neraka. Kedua yang mengadili berdasarkan nafsu, maka ia juga dalam neraka. Dan ketiga ia berijtihad sedang hasil ijtihadnya betul, maka ia dalam keadan berimbang tidak berdosa tapi tidak pula beroleh pahala. Dan saya atas nama Allah memohon anda agar dibebaskan dari jabatan itu”.

Khalifah Utsman menerima keberatan dengan jaminan bahwa ia tidak akan menyampaikan kepada siapa pun. Karena Sayidina Utsman menyadari sepenuhnya kedudukan Ibnu Umar dalam hati masyarakat, karena jika orang-orang yang taqwa lagi shalih mengetahui keberatan Ibnu Umar menerima jabatan tersebut pastilah mereka akan mengikuti langkahnya.

Ibnu Umar tidak akan menolak jabatan apabila tidak ada lagi orang lain yang pantas menduduki jabatan itu, karena masih banyak sahabat-sahabat Rasulullah yang shalih dan wara` yang juga pantas memegang jabatan tersebut. Apabila dikaji kehidupan Agama Islam di waktu itu, dunia telah terbuka pintunya bagi kaum Muslimin, harta melimpah ruah, pangkat dan kedudukan bertambah-tambah.

Daya tarik harta dan kedudukan itu telah merangsang dan mempesona hati orang-orang beriman. Namun, Ibnu Umar mengibarkan bendera perlawanan terhadap godaan itu, dengan cara memberi teladan dalam zuhud dan keshalihan, menjauhi kedudukan-kedudukan tinggi, mengatasi fitnah dan godaan.

Ibnu Umar dikenal dengan Penyerta Malam, setiap malam beliau selalu mengisi ibadahnya dengan melakukan shalat dan menangis serta memohon ampun. Di waktu remajanya beliau pernah bermimpi yang oleh Rasulullah dita`birkan bahwa qiyamul lail akan menjadi campuran tumpuan Ibnu Umar. Bahkan Sayidatina Hafshah, saudaranya menceritakan mimpi itu kepada Rasulullah Saw, kemudian Rasulullah bersabda : “Akan menjadi laki-laki paling utamalah Abdullah itu, andainya ia sering shalat malam dan banyak melakukannya”. Maka semenjak itu Ibnu Umar tidak pernah meninggalkan qiyamul lail dengan melakukan shalat, membaca al-Qur`an dan banyak berdzikir menyebut nama Allah, dan yang sangat menyerupai ayahnya ialah air matanya bercucuran bila mendengar ayat-ayat peringatan dari Al Qur`an.

Berkata `Ubeid bin `Umeir . Pada suatu hari ketika beliau duduk di antara kawan-kawannya, lalu membaca : “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa Sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, Pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam”.
Beliau terus mengulang-ulang ayat : “Ketika manusia sama berdiri di hadapan Tuhan Rabul `alamin”. Air matanya mengucur deras bagai hujan, hingga akhirnya ia terjatuh disebabkan duka dan banyak menangis.

Kemurahan, sifat zuhud dan wara` menjadikan kepribadiannya mengagumkan. Ibnu Umar termasuk orang yang hidup makmur dan berpenghasilan banyak. Ia adalah seorang saudagar yang jujur dan berhasil dalam sebagian besar dari kehidupannya. Di samping itu gajinya dari Baitulmal tidak sedikit pula. Tetapi tunjangan itu tidak sedikit pun disimpannya untuk dirinya pribadi, tetapi dibagi-bagikan sebanyak-banyaknya kepada orang-orang miskin, dan peminta-minta.

Seperti yang diceritakan oleh Ayub bin Wa-il Ar Rasibi : Pada suatu hari Ibnu Umar menerima uang sebanyak empat ribu dirham dan sehelai baju dingin. Pada hari berikutnya Ibnu Wa-il melihatnya di pasar sedang membeli makanan untuk hewan tunggangannya secara berhutang. Maka pergilah Ibnu Wa-il kepada keluarganya dan bertanya : "Bukankah kemarin Abu Abdurrahman maksudnya Ibnu Umar mendapatkan empat ribu dirham dan sehelai baju dingin?” “Benar”, ujar mereka. Kata Ibnu Wa-il : “Saya tadi lihat di pasar membeli makanan untuk hewan tunggangannya dan tidak punya uang untuk membayarnya”. Ujar mereka : “Tidak sampai malam hari, uang itu telah habis dibagi-bagikannya. Mengenai baju dingin, mula-mula dipakainya, lalu ia pergi ke luar. Tapi ketika kembali, baju itu tidak kelihatan lagi, dan ketika kami tanyakan, jawabnya bahwa baju itu telah diberikannya kepada seorang miskin”.

Kedermawanan ini, baginya bukanlah sebagai alat untuk mencari nama, atau agar dirinya menjadi buah bibir dan sebutan orang. Oleh sebab itu pemberiannya hanya ditujukannya kepada fakir miskin dan yang benar-benar membutuhkan. Jarang sekali makan seorang diri, karena pasti disertai oleh anak-anak yatim dan golongan melarat. Sebaliknya ia seringkali memarahi dan menyalahkan sebagian putera-puteranya, ketika mereka menyediakan jamuan untuk orang-orang hartawan, dan tidak mengundang fakir miskin, ia berkata : “Kalian mengundang orang-orang yang dalam kekenyangan, dan kalian biarkan orang-orang yang kelaparan.”

Sifat zuhud dan wara`nya adalah semata-mata hanya untuk mengikuti jejak langkah Rasulullah dan Ayahnya. Beliau cemas akan dihadapkan pada hari qiamat dengan pertanyaan : “Telah kamu habiskan segala kenikmatan di waktu hidupmu di dunia, kamu bersenang-senang dengannya!”. Beliau menyadari bahwa di dunia ini hanyalah tamu atau seorang musafir. Beliau pernah berkata : “Tak pernah saya membuat tembok dan tidak pula menanam sebatang kurma semenjak wafatnya Rasulullah Saw”.

Suatu hari dari tahun 73 H, ketika sang surya telah condong ke Barat hendak memasuki peraduannya, salah sebuah kapal keabadian telah mengangkat jangkar dan mulai berlayar, bertolak menuju rafiqul a`la di alam barzakh, dengan membawa suatu sosok tubuh salah seorang tokoh teladan, yaitu jasad Sayidina Abdullah bin Umar bin Khattab. Semoga Allah memperbanyak hamba-hambaNya yang memiliki kepribadian seperti Ibnu Umar dan menjadikan kita sebagian dari mereka, amin
ditulis oleh Habib Ahmad Al Habsyi

Tidak ada komentar: