translate language

Kamis, 26 November 2009

SEKUNTUM BUNGA DARI BANI ZUHRA

SEKUNTUM MAWAR DARI BANI ZUHRAH
BY:Hamid ja'far al-Qadri

Tak banyak dari para sejarawan yang mengupas masa hidupnya, namun namanya senantiasa semerbak bersama hembusan angin keindahan. Perjalanannya yang indah nan suci telah mengukir perubahan besar dari perputaran zaman. Siapa yang tak kenal Bani Hasyim; karena dari kabilah inilah Baginda Nabi kita Saw dilahirkan. Siapa pula yang tak kenal Bani Zuhrah; sebuah kabilah yang pernah menyimpan wanita suci dan mulia, karena dari rahimnyalah lahir sebuah cahaya agung yang membawa pembaharuan besar di dunia ini.
Aminah binti Wahab Ibunda Rasululllah Saw, yang salah satu wanita mulia dari Bani Zuhrah. Mungkin kita sulit untuk mengetahui kapan dan bagaimana kelahiran serta kehidupan Sayidah Aminah sampai menjelang masa perkawinannya dengan Sayid Abdullah, karena para sejarawan tidak banyak menceritakan masalah ini. Namun yang jelas Wanita Arab waktu itu terbagi menjadi dua kelompok: Kelompok pertama, adalah wanita yang dikenal oleh kaum pria dan mereka pun mengenal kaum pria. Wanita semacam ini biasanya mempunyai keahlian dalam beberapa pekerjaan dan mereka pulalah yang memberi semangat kaum lelaki di saat terjadi peperangan. Para pemuda yang menikah dengan wanita semacam ini biasanya disebabkan melihat dan mendengar secara langsung.
Kelompok kedua, adalah para wanita yang tidak dikenal oleh kaum pria dan mereka pun tidak mengenalnya selain kaum lelaki dari keluarga dekatnya sendiri. Para Pemuda Arab yang meminang wanita semacam ini disebabkan kemuliaan dan iffah-nya (kesucian) wanita tersebut. Mereka bukan termasuk para wanita yang ditawarkan di depan kaum pria. Dan wanita semacam ini senantiasa menerima pujian dan sanjungan di setiap masa (menjadi tempat kemuliaan dan kehormatan pada masyarakat apapun).
Perumpamaan wanita semacam ini di mata manusia tak bisa disamakan, kecuali dengan mutiara yang tersimpan sehingga tidak sembarangan orang mengotorinya. Rasa malunya tidak seorang pun mampu mengusik kemuliaan dan iffahnya, dari wanita semacam inilah bunga mawar Bani Zuhrah Aminah binti Wahab.

Sebab Perkawinannya
Para sejarawan dan ahli hadits telah meninggalkan jisah berharga tentang sebab musabab perkawinan Sayidah Aminah dan Sayid Abdullah yang juga telah membuktikan bahwa keluarga Abdul Muthalib tidaklah mengawinkan anaknya kecuali berdasarkan kemuliaan.
Ibnu Saad, Tabrani, dan Abu Naim meriwayatkan bahwa Abdul Muthalib bercerita: "Suatu saat kami sampai di negara Yaman saat perjalanan musim dingin, kami bertemu dengan seorang penganut kitab Zabur (Pendeta Yahudi) dia bertanya : "Kamu dari kabilah mana? Aku menjawab: "Dari Quraisy". Dari Quraisy mana? Aku menjawab: “Bani Hasyim”. Kemudian Pendeta itu berkata: “Bolehkah aku melihat salah satu anggota tubuhmu? Aku jawab: “Boleh saja asal bukan aurat”. Kemudian Pendeta itu melihat kedua tanganku dan berkata: "Aku bersaksi bahwa di salah satu tanganmu terdapat Malaikat dan tangan yang satunya terdapat kenabian, dan aku melihat hal ini pada Bani Zuhrah, bagaimana semua ini bisa terjadi”, aku menjawab: ”Tidak tahu”. Kemudian dia bertanya lagi: “Apakah kamu mempunyai syaah?”, “Apa syaah itu?” tanyaku, “Istri” jawabnya.
“Kalau sekarang aku tidak beristri”, ujar Abdul Muthalib, kemudian Pendeta itu berkata: "Kalau engkau pulang kawinlah dengan salah satu wanita dari mereka”. Setelah pulang ke Mekah Abdul Muthalib kawin dengan Hallah binti Uhaib bin Abdul Manaf. Dan mengawinkan anaknya Abdullah dengan Aminah binti Wahab. Setelah itu orang-orang Quraisy berkata: "Abdullah lebih beruntung dari Ayahnya”.
Baihaqi dan Abu Nuaim meriwayatkan dari Ibn Syihab, bahwa Abdullah bin Abdul Muthalib adalah lelaki yang tampan. Suatu saat dia keluar ke tempat wanita-wanita Quraisy, salah satu dari mereka berkata: "Apakah di antara kalian ada yang mau kawin dengan pemuda ini? sehingga nanti kejatuhan cahaya, karena aku melihat cahaya di antara kedua belah matanya”.
Zubair bin Bakar meriwayatkan, bahwa seorang para normal wanita yang bernama Saudah binti Zuhrah bin Kilab berkata pada orang-orang Bani Zuhrah: "Sesungguhnya di antara kalian terdapat seorang gadis yang akan melahirkan seorang Nabi, maka perlihatkanlah gadis-gadis kalian kepadaku". Kemudian para gadis Bani Zuhrah diperlihatkan satu persatu, hingga pada giliran Aminah, di saat dia melihat Aminah, Dia berkata: "Inilah wanita yang akan melahirkan seorang Nabi".
Begitulah riwayat yang diceritakan oleh para sejarawan tentang keutamaan Aminah, sehingga membuat Abdul Muthalib dan anaknya terdorong untuk menyunting wanita Bani Zuhrah, bukan kecantikan dan gemerlapnya materi.
Perkawinan yang indah
Demikianlah keadaan gadis Bani Zuhrah ini, dia hanya berada di dalam rumahnya, bergaul dengan keluarga dekatnya. Karena dia hanya merasakan ketentraman dan kedamaian dengan rasa malu dan sifat iffah yang dimilikinya. Mungkin yang membuat dia resah dan gelisah adalah kejadian rencana penyembelihan Abdullah oleh ayahnya Abdul Muthalib. Memang tidak bisa dipastikan apakah Aminah menaruh hati waktu itu pada Abdullah atau tidak. Namun yang jelas Aminah sangat sedih waktu itu sebagaimana yang dirasakan oleh kebanyakan penduduk kota Mekah.
Hal ini berawal dari nadzar (janji) Abdul Muthalib setelah dia mendapatkan posisi di hati kaum Quraisy lantaran menemukan kembali sumber air Zamzam bersama anak tunggalnya al-Harits. Namun begitu orang-orang Quraisy masih menganggapnya tidak sempurna karena dia hanya mempunyai satu orang keturunan. Maka dengan dasar itu Abdul Muthalib bermunajat kepada Tuhannya dengan kata-kata yang keluar dari lisannya "Apabila Allah memberiku sepuluh anak laki-laki maka akan aku sembelih salah satu dari mereka”.
Kata-kata itu telah lenyap dari ingatan manusia, namun tidak halnya dengan Abdul Muthaib yang senantiasa selalu mengingat akan janji itu, sebagaimana juga sejarah tidak akan melupakan kejadian itu.
Allah yang Maha Kuasa memenuhi keinginan Abdul muthalib yang ingin mendapatkan 10 orang anak, setelah lengkap sepuluh anak, Abdul Muthalib mulai berfikir kapan akan melaksanakan janjinya, yaitu memenuhi nadzarnya yang membuat ribut penduduk kota Mekkah. Tak ada seorang pun yang dapat melarangnya, semua mata memandang ke arah mangkok yang berisi undian nama anak-anak Abdul Muthalib yang akan dikorbankan .Semua hati orang-orang mekah berdebar menanti keluarnya undian, dan betapa terkejutnya mereka, ketika nama Abdullah yang keluar. Semua orang tahu bahwa Abdullah seorang yang tampan, santun, dan berbudi mulia. Dia adalah anak bungsu yang paling disayangi oleh ayahnya.
Laki-laki dan perempuan merasa sedih dan gelisah melihat kejadian ini, tak terkecuali di sini adalah Aminah meski masih belum terbayang dalam benaknya dia akan menjadi ibu dari anak-anak Abdullah.
Semua penduduk Quraisy keluar untuk menyaksikan kejadian agung ini. Aminah tidak ikut keluar bersama orang-orang itu bukan karena tidak punya keinginan untuk mengetahui kejadian itu, bukan pula cuek (tidak peduli) akan semua ini. Namun yang membuatnya enggan keluar karena dia termasuk kelompok wanita yang mulia, yang jiwa dan prinsipnya menuntut untuk tetap di dalam rumah meski harus nenghadapi kejadian itu.
Aminah duduk seorang diri dengan kegelisahan menunggu hasil dari semua itu. seisi rumahnya keluar untuk menyaksikan kejadian ini. Dan bukan suatu hal yang mustahil kalau Aminah termasuk orang-orang yang bertawasul meminta kepada Allah SWT agar penyembelihan tidak terjadi, karena jika terjadi maka kejadian ini akan menjadi tradisi di kalangan orang Quraisy. Maha Besar Allah yang telah melepaskan kegelisahan orang-orang Quraisy dan Abdul Muthalib dengan menggagalkan keinginan yang sesuai dengan keyakinannya. Sebagai mana yang dicatat oleh para sejarawan.
Semua orang Quraisy merasa lega dengan semua itu, tak terkecuali Aminah yang sempat sedih dan gelisah dengan semua itu, semuanya merasa senang menyaksikan seratus unta yang disembelih sebagai ganti dari penyembelihan Abdullah.
Tidaklah masa berlalu begitu saja dari kejadian itu hingga akhirnya timbul dalam ingatan Abdul Muthalib kejadian-kejadian yang dialami saat pergi ke Yaman tentang Bani Zuhrah, maka timbullah niat mulianya setelah melihat kemuliaan Bani Zuhrah. Maka dia bersama anaknya Abdullah bergegas menuju rumah keluarga Bani Zuhrah untuk menjalin kekeluargaan.
Bagi keluarga Bani Zuhrah tidak ada alasan untuk menolak keinginan Abdul Muthalib, bahkan hal ini merupakan kehormatan baginya. Bani Zuhrah pun menerima lamaran Abdul Muthalib untuk menikahkan anaknya Abdullah dengan Aminah binti Wahab dan dia sendiri pun kawin dengan saudara sepupu Aminah yaitu Hajjaj binti Uhaib.

Rumah Baru
Maka dapat kita bayangkan betapa bahaginya penduduk Quraisy menyaksikan perkawinan indah dari dua keluarga mulia itu. Terlebih utama kedua mempelai. Terpancar dari keduanya wajah yang berseri-seri. Harapan masa depan cerah menyinari perasaan keduanya. Setelah dilangsungkan Pesta Kebahagiaan, Abdullah tinggal di rumah Aminah selama tiga hari sebagaimana kebiasaan orang Arab waktu itu. Kemudian dia pulang ke rumahnya untuk menyambut kedatangan sekuntum mawar dari Bani Zuhrah yang akan dibawa oleh keluarganya untuk menempati rumah barunya.
Rumah baru itu adalah rumah kecil dan sederhana yang disiapkan oleh Abdul Muthalib untuk anak kesayangannya. Para sejarawan menyebutkan bahwa rumah itu mempunyai satu kamar dan serambi yang panjangnya sekitar 12 meter serta berlebar 6 meter yang di dinding sebelah kanan terdapat kayu yang disediakan sebagai tempat duduk mempelai.
Aminah melangkah gontai melihat rumah tumpah darahnya. Dia menatap rumah itu dengan tatapan perpisahan namun hatinya bahagia diliputi harapan kehidupan barunya. Kemudian dia berangkat bersama orang-orang yang mengantarnya, dengan gaun pengantin yang indah Aminah dan rombongan disambut oleh keluarga Abdullah. Pengantar lelaki masuk dan berkumpul di serambi sedangkan pengantar wanita memasuki ruangan pengantin. Pesta meriah dan sederhana pun dilaksanakan. Setelah walimah ala kadarnya para pengantar dan penyambut membubarkan diri, maka tinggallah dua mempelai yang dipenuhi rasa damai dan bahagia dengan dipenuhi seribu harapan di masa depan.

Berita Gembira Akan Kehamilannya.
Tidak lama dari masa perkawinannya yang indah, Aminah mendapatkan berita gembira akan kehamilan dirinya. Aminah mengalami kehamilan yang berbeda dengan wanita pada umumnya. Dia mendapatkan berita gembira berupa mimpi-mimpi yang menakjubkan, dalam mimpi-mimpinya itu Aminah telah dikabari bahwa dia telah mengandung makhluk yang paling mulia.
Dalam satu riwayat yang diriwayatkan oleh Ibn Saad dan Baihaqi dari Ibn Ishak, dia berkata: Aku mendengar bahwa di saat Aminah hamil Rasulullah Saw, dia berkata: “Aku tidak merasa bahwa aku hamil dan aku tidak merasa berat sebagaimana dirasakan oleh wanita hamil lainnya, hanya saja aku tidak merasa haid dan ada seseorang yang datang kepadaku, “apakah engkau merasa hamil?” Aku menjawab: tidak tahu. Kemudian orang itu berkata: “Sesungguhnya engkau telah mengandung seorang pemuka dan Nabi dari umat ini, dan hal itu pada hari Senin, dan tandanya Dia akan keluar bersama cahaya yang memenuhi istana Basrah di negeri Syam, apabila sudah lahir berilah nama Muhammad”, Aminah berkata itulah yang mambuatku yakin kalau aku telah hamil. Kemudian aku tidak menghiraukannya lagi hingga di saat masa melahirkan dekat, dia datang lagi dan mengatakan kata-kata yang pernah aku utarakan.
“Aku memohon perlindungan untuknya kepada dzat yang maha Esa dari kejelekan orang yang dengki.”

Kemudian aku menceritakan semua itu kepada para wanita keluargaku, mereka berkata: “Gantunglah besi dilengan dan lehermu”, kemudian aku mengerjakan perintah mereka, tidak lama besi itu putus dan setelah itu aku tidak memakainya lagi.

Menjadi janda sebelum pacar pengantin hilang di tangan
Belum lama sepasang suami istri itu melalui hari-hari bahagianya dengan segala duka-cita, rasa cinta semakin menyatu, kini keduanya harus rela untuk berpisah, pasalnya: Abdul Muthalib telah menyiapkan sebuah kafilah yang harus dipimpin oleh anaknya yang baru kemarin merasakan manisnya kebahagian bersama istrinya untuk berniaga ke negeri Syam.
Tak ada alasan bagi pemuda seperti Abdullah untuk menolak perintah sang ayah yang sangat menyayanginya, meski hatinya tidak rela meninggalkan Aminah yang sedang hamil muda, terlebih lagi masa-masa itu adalah masa bulan madu bagi keduanya. Detik-detik perpisahan pun tiba, beberapa penduduk Quraisy telah bersiap-siap untuk berangkat, masing-masing dari mereka sibuk mengurusi barang dagangan yang akan dibawa, Bani Hasyim juga tak ketinggalan mempersiapkan segala keperluannya, namun di balik itu dua insan yang telah bersatu dalam kedamaian harus berpisah setelah meneguk madu kebahagiaan.
Semerbak wangi parfum pengantin masih tercium di rumahnya, jari jemari tangan Aminah pun masih terlihat kemerah- merahan lantaran ukiran pacar masih ada di tangannya, tak ada yang tahu apa yang dilakukan dan dibicarakan keduanya, dalam detik-detik itu, tapi yang jelas keduanya harus rela merasakan pedihnya perpisahan setelah keindahan menyentuh sanubari mereka. Abdullah dengan langkah gontai tapi pasti keluar dari rumah sederhananya yang diikuti Aminah, didepan rumahnya Abdullah meninggalkan Aminah yang melepasnya dengan penuh harap, beberapa kalimat diucapkan untuk menenangkan hati di antara keduanya, padahal di balik itu keduanya tidak menyadari kalau itu adalah pertemuan terakhir.
Setelah Abdullah keluar dan bergabung dengan rombongannya tinggalah Aminah bersama dua orang wanita Bani Hasyim dan Bani Zuhrah yang rela menemaninya selama Abdullah belum pulang, keduanya memandang Aminah dengan pandangan iba, lantaran harus merasakan kesendirian, padahal keduanya tidak tahu masa depan Aminah.
Kisah kepergian Abdullah telah ditulis oleh para sejarawan. Ibnu Saad menceritakan; Abdullah bersama rombongan orang-orang Quraisy berangkat ke Syam untuk berniaga, setelah selesai berniaga mereka pulang melewati kota Madinah dan waktu itu Abdullah sakit kemudian Abdullah meminta agar meninggalkannya bersama kerabatnya dari Bani Najjar selama satu bulan, setelah rombongan sampai di Mekah Abdul Muthalib menanyakan keadaan Abdullah pada mereka, mereka menjawab: “kami meninggalkannya bersama kerabat-kerabatnya Bani Najjar di Madinah karena dia sakit”, setelah itu Abdul Muthalib mengutus anak tertuanya al-Harits untuk menjemputnya, setelah sampai di sana Abdullah sudah di kubur, mengetahui semua itu Abdul Muthalib dan seluruh keluarganya mengalami kesedihan yang luar biasa. Bukan hanya kesedihan karena kehilangan Abdullah yang mereka sayangi, namun lebih dari itu Abdullah telah meninggalkan irisan sembilu kesedihan dalam jiwa seorang wanita lugu Bani Zuhrah yang saat itu sedang hamil tua.
Tidak dapat dibayangkan dengan Aminah, sebagai seorang istri yang baru merasakan kasih sayang seorang suami dan menunggu kelahiran buah hati pertamanya, Aminah sangat sedih dan merana dengan perpisahan yang tidak bisa harapkan lagi pertemuannya, tak dapat diungkapkan bagaimana kesedihan Aminah, seperti sejarah pun tidak sanggup mencatat kepiluannya kecuali dengan apa yang diungkapkan Aminah berupa bait-bait kesedihan.

Menjadi ibu
Hari-hari Aminah lalui dengan kesedihan dan kesendirian, hanyalah Munajat pada sang Pencipta yang dia ucapkan dari bibir dan hatinya. Begitulah Aminah mengisi hari-hari dengan menunggu kelahiran anaknya yang akan lahir ke muka bumi ini, tanpa kasih sayang seorang ayah, entah berapa tetes Air mata yang mengalir di wajah suci Aminah ketika dia mengingat calon bayinya tersebut.
Takdir Allah memang tidak bisa ditolak, ketentuannya tak bisa digugat, Maha besar Allah dengan kehendak dan kekuasaannya yang menghendaki Manusia mulia nan suci keluar dari rahim Aminah. Detik-detik kelahiran anak Aminah ini sangat istimewa, betapa tidak! di malam itu Aminah didatangi wanita-wanita suci penghuni surga seperti Maryam dan Asiah, dengan didampingi ribuan bidadari yang mengabarkan kepadanya, bahwa sebentar lagi akan keluar dari rahim sucinya seorang bayi mungil yang lucu nan suci, pemuka dari para Nabi dan kekasih Tuhan alam semesta.
Para Malaikat bertahlil dan bertasbih menyaksikan cahaya indah yang akan lahir di malam itu, maka lahirlah Rasulullah Saw dari rahim Aminah. Tak perlu diungkapkan bagaimana proses keagungan kelahiran Rasulullah secara mendetail, sebab para sejarawan telah menulis dengan panjang lebar kejadian ini, yang jelas Aminah sangat merasa bahagia dengan kelahiran anaknya ini, kepiluan, kesedihan, kesendirian dan kesepian kini telah sirna, yang ada hanyalah kebahagian dan kedamaian yang mengisi hari-hari Aminah setelah kelahiran anaknya, Kelahiran Rasulullah Saw bak setetes embun pagi yang menetes di sanubari Aminah. Bahkan bukan bagi Aminah saja namun bagi penghuni alam semesta. Betapa banyak makhluk Allah yang berharap merawat dan menatap wajahnya, para malaikat dan hewan-hewan berebut untuk merawatnya. namun takdir Allah menentukan hanyalah Aminah yang mendapat kemuliaan tersebut.

Tidak ada komentar: